Twitter

”HAK RAKYAT ATAS PSDA & FAKTA PEMANASAN GLOBAL DARI SKEMA REDD”

Posted by globalwarning - -


Kepala Divisi Penguatan Organisasi dan Jaringan  Walhi Aceh.
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa persoalan dunia saat ini adalah pemanasan global atau lebih dikenal dengan REDD (Reduction of Emission from Deforestation and Forest Degradation) atau REDD Plus. Rejim karbon hangat diperbincangkan, berbagai pertemuan dunia untuk membicarakan  strategi mengatasi pemanasan global. Kajian maupun penelitian ilmiah menunjukan bukti-bukti betapa perilaku manusia merupakan sebab utama meningkatnya gas rumah kaca yang berunjung  pada pemanasan global. Salah satunya gaya hidup boros. Seharusnya  perilaku boros  dirubah menjadi hemat untuk mengatasi persoalan pemanasan global. Pemanasan global itu sendiri bermula dari kejadian naiknya temperature rata-rata atmosfer, laut dan daratan bumi yang berdampak terhadap permukaan bumi dan manusia. Beberapa fakta yang disebarkan oleh IPCC I (the Intergovernmental Panel on Climate Change) 2007 diantaranya; Kenaikan temperature global periode 1906-2005 mencapai 0.74°C dari temperatur pra-Industri dan abad ke-20 gas rumah kaca (GRK) seperti karbondioksida (CO2) dan pembakaran bahan fosil seperti bensin, minyak tanah, avtur dan lain-lain. Menurut para ahli, kenaikan kadar CO2 atmosfer dalam kurun waktu 30 tahun mendatang menujukan akan terjadi kenaikan mencapai 2°C, bahkan lebih.
Lain pihak misalkan, ajang penyelamatan bumi melalui skema REDD berubah menjadi ajang mencari keuntungan baik oleh broker atau agen karbon, Pemerintah, maupun pihak-pihak yang terlibat dalam melakukan lobi pasar karbon dunia.  Industrial dunia tidak pernah mau mendengar apa itu masyarakat adat, orang miskin, dan sebagainya tentang kesulitan dari sebuah Negara tertentu atas hak-hak penghidupan satu bangsa, yang sangat diperhatikan bagaimana caranya produksi berjalan dengan baik dan mematuhi aturan PBB dalam rangka menurunkan tingkat emisinya dengan presentase 5% dari sebuah komitmen industrial,  misalkan Amerika 20.6 ton emisi, Inggris 9.8 ton, Irlandia 10.5 ton emisi yang dilepaskan setiap tahunya, lalu beban yang seharusnya ditanggung oleh Negara maju dibebankan ke Negara berkembang salah satunya Indonesia.
Politik cuci tangan Negara-negara utara misalkan nampak dalam perdebatan mengenai share vision COP 14 di Poznan dengan mengajukan proposal yang berisi desakan untuk mengamandemen pembagian Developed and Developing Countries dalam convention sehingga peran-peran baru bisa dipetakan kembali dalam tanggung jawab mitigasi atau pencegahan perubahan iklim.
SISI LAIN MISALKAN,
PERMEN NO 30/Menhut-ll/2009 tentang Tatacara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) Pasal 4 ayat (1), (2), (3), Pasal 3 ayat (1) dan banyak pasal serta ayat yang mengatur siapa yang berhak dan tatacara setiap pasal yang mengatur semua hal yang berkaitan, justru banyak keuntungan yang didapat oleh pemegang izin seperti IUPHHK-HA, KPHP,KPHK akan mendatangkan US$  atas penjualan lokasi izin mereka pada pasar bebas karbon oleh si broker/agen pasar karbon, lalu apa PERMEN ini yang agak menggelitik kita, yang mana PERMEN ini justru mendatangkan kebodohan dan pelanggaran atas pemanfaatan lahan sendiri oleh masyarakat, misalkan, setiap orang yang ingin melakukan penanaman atau menggunakan lahan untuk pertanian harus mengajukan izin kepada Menteri/ Pemerintah. Padahal lahan tersebut warisan nenek moyang mereka, bayangkan ruang gerak di masa mendatang atas sumber penghidupan, suka dan tidak suka itulah sebuah rialitas yang akan terjadi, toh di tahun 2008-2011 kawasan seperti Ule Masen dengan luas 750,000 ha dengan  harga 4 USD per-Ulumasen kredit  yang di Pemraksa oleh FFI, carbon Conservation Pty, Ltd, FFI  dalam periode 2012-2013 nilai kredit naik menjadi 7 USD, tidak pernah masyarakat tau. Dalam buku Pemanasan Global Respon Pemerintah & Dampaknya Terhadap Hak Masyarakat Adat yang ditulis oleh Bernadinus Steni, yang diterbit tahun 2009 lalu, dapat kita ambil satu komentar yang sangat mengejutkan kita, dimana Departemen Kehutanan Uganda menyatakan (“kami sebetulnya tidak mau mengakui, bahwa kami tidak tahu apa pun tentang perdagangan CO2 dan juga tidak memahami sedikitpun fungsinya dan juga seberapa besar investor luar negeri mendapatkan keuntungan dari proyek itu” ).
(Lang dan Byakola,2006).
Nasib masyarakat atas SDA
Dalam sejarah dicatat yang tertuang dalam UU 45 Pasal 18B ayat (2) Bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisional sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang. Sedangkan Pasal 281 ayat (3) bahwa Indetitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan jaman dan peradaban. lalu diperkuat kembali dengan UU NO 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan di Pasal 67, UU NO 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan pada Pasal 9 ayat (2). Dapat kita tarik kesimpulan bahwa Negara mengakui keberadaan masyarakat serta hak yang harus didapatkan oleh rakyat.
Secara historis, syarat-syarat ini berkembang sejak jaman kolonial. Dimana Pemerintah Kolonial Belanda mencantumkan syarat-syarat pengakuan masyarakat hukum adat untuk mengakui hukum adat dan Pemerintahan desa. Namun pasca kemerdekaan, syarat-syarat ini berkembang biak ke obyek-obyek lainnya, antara lain hak ulayat, hukum adat, mengatur adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan masyarakat dan lembaga adat. Artinya pengekangan masyarakat hukum adat melalui sejumlah syarat justru jauh lebih banyak pasca kemerdekaan dari pada masa kolonial.
Nasib masyarakat adat/lokal yang sangat rentan akibat pemanasan global, dengan demikian, tidak merupakan prioritas dalam putaran perundingan demi perundingan dunia. Ironisnya, nasib tersebut dihitung dalam kalkulasi ekonomi, dimana kapasitas mereka menjaga hutan dihitung secara ketat dalam ekonomitri yang sulit dipahami.  Yang pada giliranya berikutnya, hasil perundingan masyarakat/lokal yang disebut-sebut (atau dijual) dalam perundingan tersebut, terasing dari hutannya sendiri. Hutan itu tidak lagi menjadi tempat mendapatkan rumput ternak, mencari kayu bakar, mengambil madu dan biji-bijian, tapi berubah manjadi obyek matematika, statistik dan ekonomi yang dikuasai dengan terampil oleh orang-orang asing melalui pasar bebas karbon dunia. Hutan, dalam teori baru adalah ekonometrika.
Sisi lain misalkan, Pemerintah yang diharapkan menjamin hak warga Negara dalam berbagai level negosiasi Internasional justru kurang memprioritaskan peran tersebut dan cenderung mengikuti irama orientasi pasar ekonomi dalam perundingan global. Namun pada level akar rumput, perjuangan masyarakat adat/lokal untuk memperkuat hak atas tanah dan kontrol atas sumber daya alam yang mereka miliki secara perlahan akan terganggu oleh isu-isu baru muncul dari skema ekonomi pemanasan global. Ketegangan sosial dan bentuk baru bukan tidak mungkin akan muncul dari skema ini.
Hal ini tidask selayaknya dibiarkan berjalan begitu saja. Banyak hal yang harus yang diperhatikan dan dilakukan. Diantaranya,  Pertama ; Pemerintah mesti menempatkan tujuan utama respon atas dampak pemasan global pada keberlanjutan masa depan umat manusia, khususnya kelompok yang rentan terhadap perubahan iklim (orang miskin, masyarakat adat, kaum perempuan dan anak-anak serta kelompok rentan lainnya, sebaliknya misalkan, keuntungan sesaat lewat skema finansial yang menggiurkan merupakan daftar tunggu yang ditempatkan dalam urutan berikut. Sebagai konsekuensinya, kebijakan yang dibuat lebih sebagai sebagai upaya menyelamatkan masa depan manusia dari pada sebagai skema keuangan yang memberikan karpet merah terhadap pemilik modal, terutama pada pemegang konsesi yang sudah antri menunggu potensi keuntungan dari skema ekonomi dari dampak pemanasan global.
Kedua; kebijakan komprehensif harus dibentuk yang mencakup mitigasi dan adaptasi atas akibat-akibat pemanasan global seperti perubahan iklim, goyahnya ketahanan ekosistem, dan berbagai dampak lain yang mengancam kelangsungan hidup manusia. Kebijakan-kebijakan tersebut harus mempertimbangkan dan memprioritaskan kelompok yang paling rentan akibat pemanasan global.
Ketiga ; secara kelembagaan, Pemerintah perlu membangun lembaga yang bersifat lintas sektoral dan memiliki otoritas penuh untuk mewujudkan semua upaya yang visible dilakukan untuk memperkuat upaya mitigasi dan adaptasi dampak-dampak pemanasan global.
Keempat; Dilevel akar rumput, khususnya masyarakat adat/lokal, skema apapun yang ditawarkan jika tidak melalui prosedur yang tepat seperti free and prior informed consent akan berpontensi mengurangi dan bahkan mulucuti hak-hak mereka atas sumber daya alam. Hak-hak tersebut harus diakui dan dijamin dalam skema-skema mangatasi dampak pemanasan global.
Kelima; Pemerintah, lembaga-lembaga Internasional, maupun kalangan civil society yang memiliki pengetahuan mengenai dampak-dampak pemanasan global sebaiknya menyebarkan pengetahuan tersebut dalam bahasa yang mudah sehingga masyarakat luas sadar akan ancaman pemanasan global.
 

Leave a Reply