Twitter

GLOBAL WARMING

Posted by globalwarning - -

Masalah Ketahanan Pangan dan Ancaman Pemanasan Global (Global Warming) Part 1 PDF Cetak E-mail
Ditulis oleh Dr. Eko Budi Minarno   
Selasa, 01 November 2011 14:58
Masalah Ketahanan Pangan dan Ancaman  Pemanasan Global (Global Warming)  Part 1
Oleh:
Eko Budi Minarno
Jurusan Biologi Fakultas Saintek UIN Malang


Pengertian Ketahanan Pangan
Ketahanan Pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah, maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Ketahanan pangan merupakan hal yang penting dan strategis, karena berdasarkan pengalaman di banyak negara menunjukkan bahwa tidak ada satu negarapun yang dapat melaksanakan pembangunan secara mantap sebelum mampu mewujudkan ketahanan pangan terlebih dahulu. Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk yang besar dan tingkat pertumbuhannya yang tinggi, maka upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan merupakan tantangan yang harus mendapatkan prioritas untuk kesejahteraan bangsa.

Berdasarkan definisi ketahanan pangan dari FAO (1996) dan UU RI No. 7 tahun 1996, yang mengadopsi definisi dari FAO, ada 4 komponen yang harus dipenuhi untuk mencapai kondisi ketahanan pangan yaitu:
  1. kecukupan ketersediaan pangan;
  2. stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari tahun ke tahun.
  3. aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan serta
  4. kualitas/keamanan pangan

Ketahanan Pangan, Hak Asasi Manusia dan Ketahanan Nasional
Ketahanan pangan merupakan bagian terpenting dari pemenuhan hak atas pangan sekaligus merupakan salah satu pilar utama hak asasi manusia. Ketahanan pangan juga merupakan bagian sangat penting dari ketahanan nasional.  Dalam hal ini hak atas pangan seharusnya mendapat perhatian yang sama besar dengan usaha menegakkan pilar-pilar hak asasi manusia lain.  Kelaparan dan kekurangan pangan merupakan bentuk terburuk dari kemiskinan yang dihadapi rakyat, dimana kelaparan itu sendiri merupakan suatu proses sebab-akibat dari kemiskinan.
Oleh sebab itu usaha pengembangan ketahanan pangan tidak dapat dipisahkan dari usaha penanggulangan masalah kemiskinan. Di lain pihak masalah pangan yang dikaitkan dengan kemiskinan telah pula menjadi perhatian dunia, dan Indonesia memiliki tanggung jawab untuk turut serta secara aktif memberikan kontribusi terhadap usaha menghapuskan kelaparan di dunia.
Ketahanan pangan tidak hanya mencakup pengertian ketersediaan pangan yang cukup, tetapi juga kemampuan untuk mengakses (termasuk membeli) pangan dan tidak terjadinya ketergantungan pangan pada pihak manapun.  Dalam hal inilah, petani memiliki kedudukan strategis dalam ketahanan pangan : petani adalah produsen pangan, namun ironisnya petani adalah juga sekaligus kelompok konsumen terbesar yang sebagian masih miskin dan membutuhkan daya beli yang cukup untuk membeli pangan. Dapat dikatakan petani harus memiliki kemampuan untuk memproduksi pangan sekaligus juga harus memiliki pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka sendiri.
Terkait hal di atas, usulan pengembangan ketahanan pangan dapat dilakukan antara lain dalam (1) komitmen dan kerjasama yang kuat antara pemerintah, legislatif, swasta dan masyarakat (LSM dan Perguruan Tinggi); (2) mencegah dan mengurangi laju konversi lahan produktif; dan (3) memanfaatkan dengan lebih optimal berbagai bentuk sumberdaya lahan (lahan kering, lahan rawa, lahan pasang surut) untuk kepentingan pemantapan produksi pangan dan peningkatan pendapatan petani. Tentunya masih ada usulan yang lain.

Ketahanan Pangan “Nyawa” Suatu Bangsa
Meningkatnya harga bahan pangan pokok menjadi topik utama pemberitaan media massa. Juga berita sawah kekeringan yang berarti menghadapi kerawanan pangan. Hal ini membuktikan bahwa ketahanan pangan bangsa tetap menjadi perhatian masyarakat luas. Ketahanan pangan rumah tangga merupakan salah satu aspek pembangunan nasional yang tidak boleh diabaikan pemerintah. Apabila negara tidak mampu menyediakan pangan yang cukup bagi rakyatnya, maka akan timbul keresahan sosial yang pada akhirnya dapat mengganggu kestabilan ekonomi dan politik.
Sejalan dengan hal itu, David Nelson mengatakan bahwa shortage of food can lead to a civil war (kekurangan pangan dapat menimbulkan perang saudara). Sebagai bukti pada jaman Presiden Sukarno pada tahun 1952 terjadi ketidakseimbangan antara produksi dan kebutuhan beras Indonesia. Pada saat itu, dengan jumlah penduduk sebanyak 75 juta dan konsumsi beras per kapita per tahun sebesar 86 kg (setara dengan 1.712 kkal/hari), maka kebutuhan beras dalam negeri mencapai 6,45 juta ton, sementara produksi beras nasional hanya mencapai 5,5 juta ton, maka terjadi defisit sebesar 0,95 juta ton (15% dari kebutuhan).
Selanjutnya, Bung Karno memproyeksikan delapan tahun ke depan, yaitu tahun 1960. Dengan asumsi konsumsi beras per kapita tetap dan kemampuan memproduksi padi juga tetap, apabila penduduk bertambah delapan juta jiwa menjadi 83 juta tahun 1960, maka kebutuhan impor beras meningkat menjadi 2,2 juta ton (dengan tingkat konsumsi energi 1.712 kkal/hari). Apabila konsumsi energi yang ingin dipenuhi sesuai standar kecukupan (2.250 kkal/hari/orang), maka kebutuhan impor akan mencapai 6,3 juta ton, yang berarti 50 persen kebutuhan beras dipenuhi dari impor. Lantas, apabila kemampuan untuk memproduksi lemah dan devisa ataupun utang luar negeri untuk mengimpor tidak ada, maka rata-rata konsumsi energi per kapita akan menjadi 1.547 kkal/hari. Pada tingkat konsumsi energi seperti itu, orang tidak dapat hidup sehat, apalagi produktif. Kondisi tersebut menurut Bung Karno akan menyebabkan "rakyat kelaparan, kocar-kacir dan menyedihkan secara permanen kuadrat". Dalam kalimat yang sangat tegas Bung Karno menyatakan ".... bahwa kita sekarang ini
menghadapi hari kemudian yang amat ngeri, bahkan suatu todongan pistol 'mau hidup atau mau mati'...".
Kondisi ancaman "todongan pistol" tersebut ternyata sampai saat ini masih relevan untuk tetap diwaspadai. Walaupun dalam 50 tahun produksi padi dapat ditingkatkan 5,9 kali lipat, (dari 5,5 juta ton tahun 1952 menjadi 32,5 tahun 2002), tetapi dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi (dari 75 juta menjadi 212 juta jiwa) dan peningkatan konsumsi beras per kapita per tahun yang besar (dari 86 kg menjadi 142 kg), maka Indonesia masih harus mengimpor beras sekitar satu juta ton, suatu jumlah yang relatif kecil dibandingkan dengan total kebutuhan.
Sebagai perbandingan, satu juta ton beras impor tahun 2002 hanya sekitar tiga persen dari produksi domestik, sementara 50 tahun lalu jumlah itu setara dengan 15 persen. Fakta ini dapat dinilai sebagai prestasi dari para petani kita. Namun demikian, ancaman "todongan pistol" kerawanan pangan tersebut pada waktu yang akan datang masih tetap relevan apabila: (1) tingkat pertumbuhan penduduk tidak dapat diturunkan (saat ini 1,49 %/tahun), (2) kapasitas produksi pangan nasional tidak dapat dipelihara atau dipertahankan, antara lain karena konversi lahan yang tidak terkendali, dan (3) tingkat konsumsi beras/kapita tidak dapat diturunkan.
Upaya memantapkan ketahanan pangan untuk menghindari kondisi di bawah "todongan pistol mau hidup atau mati", secara umum ada dua kelompok besar upaya yang perlu dilakukan oleh pemerintah bersama masyarakat yakni: (1) peningkatan pasokan/produksi (melalui intensifikasi dan ekstensifikasi) dan penurunan permintaan (konsumsi) pangan, serta (2) diversifikasi pangan, baik dari sisi produksi maupun konsumsi.
Diversifikasi produksi dilakukan melalui (a) pengembangan pangan karbohidrat khas Nusantara spesifik lokasi seperti sukun, talas, garut, sagu, jagung dan lain-lain, (b) pengembangan produk (product development) melalui peran industri pengolahan untuk meningkatkan cita rasa dan citra produk pangan khas nusantara (image product) dan (c) peningkatan produksi dan ketersediaan sumber pangan protein (ikan, ternak).
Diversifikasi konsumsi pangan terkait dengan upaya mengubah selera dan kebiasaan makan. Karena itu, pokok kegiatan ini berupa peningkatan pengetahuan, sosialisasi, dan promosi mengenai pola pangan beragam, bergizi, berimbang. Pendekatan pengembangan diversifikasi konsumsi pangan jangan diidentikkan dengan kegiatan pengentasan kemiskinan, tetapi merupakan upaya perbaikan konsumsi gizi dan kesehatan. Dengan mengonsumsi pangan yang lebih beragam, bergizi, dan dengan kandungan nutrisi yang berimbang, maka kualitas kesehatan akan semakin baik. Hasil ikutannya adalah, konsumsi beras per kapita diharapkan menurun. Selain itu, barangkali yang perlu ditanamkan sejak dini adalah jangan buang-buang nasi, dalam arti kalau mengambil nasi untuk makan harus secukupnya, tidak boleh ada nasi yang disisakan. Butir nasi sisa dapat dikalkulasi untuk setiap kali makan, untuk sehari, seminggu, sebulan, setahun dan seterusnya sudah berapa ton nasi yang terbuang.

Leave a Reply